Dua relief Sahabat Sejati dalam Dhamma terlatak di kedua sisi bangunan utama bagian belakang. Dua sahabat yang belum pernah bertemu, namun satu sama lain saling mengagumi kepemimpinanya. Mereka menjalin persahabatan melalui surat. Ketika Raja Pukkusati mengirimkan hadiah yang sangat bernilai. Raja Bimbisara membalasnya dengan sebuah syair tentang kemuliaan Sang Buddha “Buddhanusati” yang ditulis sendiri oleh Raja Bimbisara diselembar kain emas. Membaca syair ini Raja Pukkusati mencapai Jhana, kemudian dengan mantap beliau meninggalkan kerajaan dan melepas tahta untuk menjadi Bhikkhu menemui Sang Buddha,. Mendengar wejangan sang Buddha akhirnya Beliau mencapai tingkat kesucian Anagami, kemudian menjadi Bhikkhu. Inilah yang menginspirasi kisah relief dan patung yang ditampilkan di Vihara Buddha Guna tentang “Kisah Kemuliaan Seorang Buddha”.
Kuti bhikkhu adalah bangunan yang harus ada dalam sebuah vihara karena sesungguhnya vihara adalah tempat berdiamnya para bhikkhu. Kuti adalah tempat berdiamnya para bhikkhu. Kuti Bhikkhu dalam Vihara Buddha Guna ditempatkan dipojok belakang di bagian barat lahan pada zoning yang sepi dari lalu lintas umat/pengunjung. Hal ini dipertimbangkan untuk memberikan kenyamanan bagi para bhikkhu yang bervassa. Pembangunan kuti yang nyaman dan memadai menjadi prioritas pemugaran ini karena bila telah ada bhikkhu bervasa tetap akan menarik minat umat untuk berkunjung.
Kuti bhikkhu terdiri dari 1 unit bangunan bertingkat lantai, lantai bawah bersifat agak terbuka difungsikan sebagai R. Duduk (Tamu/umat yang berkunjung menemui bhikkhu) dan dilengkapi toilet. Lantai atas difungsikan sebagai ruang tidur bhikkhu yang terdiri dari 3 ruang tidur dan dilengkapi ruang duduk para bhikkhu.
4 Bahaya bagi Para Bhikkhu
Relief Sang Buddha dengan Abhaya Mudra menyampaikan pesan 4 (empat) bahaya bagi para Bhikkhu yang terdapat dalam CATUMA SUTTA, yaitu :
UMIBHAYA
(Bahaya dari ombak)
Ombak adalah simbolisasi diombang-ambingnya seorang Bhikkhu dalam ketidakpuasan dan kemarahan.
KUMBHILABHAYA
(Bahaya dari buaya)
Hanya memikirkan perut dan mulutnya sendiri dan tidak merasa puas dengan apa yang diterimanya, termakan arus materi.
AVATTABHAYA
(Bahaya dari pusaran air)
Pusaran air adalah simbolisasi dari terseretnya seorang Bhikkhu dalam lima kesenangan indra.
SUSUKABHAYA
(Bahaya dari ikan baus/ hiu)
Adalah simbolisasi termangsanya seorang Bhikkhu oleh wanita.
Interior Kuti Bhikkhu
Di atas adalah lantai 1 Ruang Kuti Bhikkhu, sebagai ruang duduk dan sebelah kanan adalah lantai 2 Ruang Kuti Bhikkhu, (Ruang tidur dan Ruang meditasi)
Ruang Makan Bhikkhu
ruang makan Bhikkhu, dapat difungsikan untuk aktivitas santai Bhikkhu serta Ruang melakukan pelimpahan jasa (pattidana) berada di belakan bangunan uatama dan di depanya terhampar taman dan rerumputan hijau sebagagi ruang terbuka. Ruang ini dapat sebagai ruang makan 20 orang Bhikkhu.
Penambahan Canopy dan selasar dimaksudkan untuk memberikan akses langsung menuju Dhammasala bagi pengunjung, hal ini berdasarkan evaluasi purna huni kondisi entrance yang ada sekarang terskesan naik turun oleh permaianan tangga dan kurang berkesan mengundang.
Pembangunan canopy dan selasar diharapkan mampu memberikan kesan mengundang yang kuat dan mengharapkan umat/pengunjung menuju Dhammasala, melalui selasar yang dibuat baru melalui tangga menuju lantai dasar. Demikian pula canopy yang menggunakan elemen dekoratif yang Buddhistis akan memperindah dan memperkuat penampilan vihara ini.
Renovasi Lantai 1,2,3
Interior maupun ekterior lantai ini direnovasi total, bahkan di lantai dasar yang sebelumnya terbagi menjadi ruang dengan grid bentang 4 meter dirubah total agar berfungsi sebagai Dhamma Hall dengan bentang 8 meter.
Pada lantai 2 dan 3 yang difungsikan sebagai Dhammasala Dhammamandira (lantai 2) dibuat terbuka untuk sirkulasi udara dan perluasan ruangan dan Dhammasala Velluvana (lantai 3) dibuat semakin indah dan fungsional. Mulai dari lantai, tembok, plafond direnovasi, bahkan untuk atap lantai 3 diperbaiki khusus pada plat untuk mengatasi kebocoran. Demikian pula altar masing-masing ruangan ini didesain menggunakan konsep yang memperkuat kisah keluhuran Guru Agung Buddha Gotama.
Tampak Depan
Bangunan utama terdiri dari 3 (tiga) lantai, pada bagian depanya dilengkapi canopy yang berfungsi sebagai foyer, dihiasi oleh Pilar Asoka pada puncaknya.
Pada pilar kiri dan kanan disambut oleh patung kinara kinari, interior dinding belakang diukir relief “Buddha Kicca” (Kegiatan Sang Buddha Sehari-hari selama 45 Tahun Memberikan Pelayanan Dhamma pada Semesta Alam) yang menjadi ikon Vihara Buddha Guna.
Ajaran Sang Buddha tentang muncul dan Lenyapnya Dukkha yang bersumber pada Moha, Lobha, Dosa, terukir dengan indah pada lantai yang ditutup oleh kaca.
Dan interior plafondnya terpahatkan kata-kata Indah pujian Terhadap Perenungan Kebajikan Sang Buddha (Buddhanusati).
Bangunan ini tampak semakin megah dengan lilitan Naga Erakapatta yang mengitari bangunan utama yang penuh dengan relief mengisahkan keagungan Sang Buddha. Pada puncaknya berkilauan stupa yang terkenal sebagai ciri khas bangunan Buddhis.
(Gambar Kemegahan Bangunan Utama)
Kemegahan dan Keindahan Bangunan Utama dengan Memperhatikan Efektifitas dan Efisiensi dari Tuntutan Fungsi Ruang.
Puncak Bangunan Utama : Stupa
Stupa melambangankan Nibbana (kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama dan menjadi tujuan setiap Umat Buddha.
Burung Merak Melambangkan Keindahan
Jika Singa melambangkan “Raja Rimba” maka Burung Merak melambangkan “Ratu Keindahan” di alam hutan, seperti halnya Sang Buddha adalah Raja Dhamma dan Dhamma adalah indahnya rasa dari segala rasa; “indah pada awalnya, tengahnya dan pada akhirnya itulah Dhamma”.
Demikian pula Burung Merak melambangkan kegigihan Sang Buddha dalam membabarkan dan menghidupi Dhamma yang dimulai dari dini hari, seperti yang diuraikan dalam Mora Paritta (Syair Burung Merak).
Patung Gajah Putih bertaring 3 (tiga) pasang, adalah gerbang utama (main gate) Vihara Buddha Guna. Gajah istimewa ini hadir dalam mimpi Ratu Siri Maha Maya Dewi. Gajah ini berjalan memutari dan akhirnya memasuki perut Sang Ratu sebagai pertanda bahwa Sang Ratu akan mengandung Boddhisatta (Calon Buddha).
Penempatan paung gajah ini juga sebagai pertanda bahwa “story dan history Sang Buddha siap dikumandangkan di vihara yang bernama Buddha Guna mengetengahkan kebajikan Sang Buddha.
Patung Gajah yang berkesan kuat dan gagah, memperkuat tekad panitia mewujudkan impianya untuk memugar vihara ini, menjadi vihara yang istimewa.
Relief ini mengingatkan bahwa Ajaran Buddha hanya mengupas yang satu ini; sumber “Dukkha” dan bagaimana lenyapnya “Dhukkha”. Kehidupan manusia yang berulan-ulang (tumimbal lahir) bersumberkan pada belenggu yang disebut dengan Moha / Kekelirutahuan (Babi), loba / Keserakahan (Ayam) dan Dosa / Kebencian (Ular) yang akhirnya membentuk Ego / Keakuan.
Diletakan dilantai dasar untuk mengingatkan kita ke Vihara untuk belajar dan mengikis 3 akar kejahatan ini, dengan mengendapkan ego/keakuan pada tempat yang paling dasar, untuk memunculkan ke “Bodhi” an yang ada dalam setiap manusia (mano = pikiran, usa = luhur).
Seperti usaha dan perjuangan Boddhisatta menjadi Buddha yang reliefnya ada di depan dan sifat-sifat mulia-Nya (Buddhanusati) terukir pada papan kayu jati di atas relief ini.
Bangunan kembar ini terletak disebelah barat ketika memasuki areal vihara walaupun dengan luas ruang yang cukup minim namu ruangan dirancang agar berkesan lega.
Pengunjung dapat dengan nyaman membaca koleksi buku-buku, menyaksikan video tentang keagungan Sang Buddha dan Ajara-Nya, serta tentang Vihara Buddha Guna.
Bangunan kembar ini terletak disebelah timur di depan bangunan utama. Terbagi menjadi dua ruangan yang berfungsi sebagai ruang informasi dan security, di ruangan ini pengunjung mendapatkan pelayanan informasi tata tertib dan tentang vihara ini.
Ruangan sebelahnya berfungsi sebagai ruang bursa (merchandise) yang menjual cinderamata Khas Vihara Buddha Guna.
Pilar Asoka adalah pilar yang dibangun oleh Raja Asoka, seorang Maharaja sepanjang sejarah India yang lair ± 500 tahun setelah Buddha Parinibbana.
Pembangunan Pilar Asoka adalah sebagai bentuk penghormatan Raja Asoka terhadap Guru Buddha Gotama, karena berkat Dhamma yang diajarkan-Nya menyadarkan sang raja untuk hidup sesuai Dhamma dari kekeliruanya membasmi sanak saudaranya dan menaklukan kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Pilar Asoka perlambang perdamaian dan kerukunan Umat Beragama sarat akan pesan Dhamma yang tertuang dalam ukiranya yang indah, seperti : Roda Dhamma yang melambangkan Kebenaran Mulia yang diajarkan Sang Buddha, Gajah melambangkan kelahiran Bodhisatta dalam mimpi Ratu Siri Mahamaya Dewi, Kerbau melambangkan tekad dan keperkasaan Pangeran Sidattha Gotama, Kuda melambangkan Pelepasan Agung menunggangi Kuda Kanthaka dan Singa melambangkan Buddha adalah Raja Dhamma seperti Singa sang raja rimba.
Dekrit Maharaja Asoka
Dekrit Perdamaian dan Kerukunan Hidup Beragama
“JANGANLAH KITA MENGHORMAT AGAMA SENDIRI DENGAN MENCELA AGAMA ORANG LAIN.
SEBALIKNYA, AGAMA ORANG LAIN DIHORMATI ATAS DASAR-DASAR TERTENTU.
DENGAN BERBUAT DEMIKIAN, KITA TELAH MEMBANTU AGAMA KITA SENDIRI UNTUK BERKEMBANG,
DI SAMPING MENGUNTUNGKAN PULA AGAMA LAIN.
DENGAN BERBUAT SEBALIKNYA, MAKA KITA AKAN MERUGIKAN AGAMA KITA SENDIRI
DI SAMPING MERUGIKAN AGAMA ORANG LAIN.
OLEH KRENA ITU, BARANG SIAPA MENGHORMAT AGAMANYA SENDIRI DENGAN MENCELA AGAMA
ORANG LAIN SEMATA-MATA KARENA DORONGAN RASA BAKTI KEPADA AGAMANYA SENDIRI DENGAN BERPIKIR: ‘BAGAIMANA AKU DAPAT MELUPAKAN AGAMAKU SENDIRI’, MAKA DENGAN BERBUAT DEMIKIAN IA MALAH MERUGIKAN AGAMANYA SENDIRI.
OLEH KARENA ITU, TOLERANSI DAN KERUKUNAN BERAGAMALAH YANG DIANJURKAN, DENGAN PENGERTIAN, BAHWA SEMUA ORANG
SELAIN MENDENGARKAN AGAMANYA SENDIRI
HENDAKNYA BERSEDIA PULA MENDENGARKAN AJARAN YANG DIANUT OLEH ORANG LAIN…”
Boddhisatta Buddha Gotama pernah terlahir sebagai Kinara dan Putri Yasodhara saat itu terlahir sebagai Kinari (Manusia yang berbadan burung).
Patung Kinara dan Kinari ditempatkan di pilar canopy sebagai perlambang cinta kasih dan kesetiaan.
Penempatan Patung Kinara dan Kinari di depan bangunan utama dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa Guru Agung Buddha Gotama menyebarkan Dhamma karenya cinta kasih-Nya kepada umat manusia dan alam semesta.
Patung ini juga berfungsi sebagai elemen estetika yang artistik yang mengesankan keluwesan dan keanggunan, diharapkan dapat menuntun umat yang berkunjung untuk memulai memperhatikan tindak tanduknya, kesopanannya memasuki areal vihara yang mengagungkan keluhuran sifat-sifat mulia Seorang Buddha.
KARENA INILAH SANG BHAGAWA, DISEBUT YANG MAHA SUCI,
YANG TELAH MENCAPAI PENERANGAN SEMPURNA,
SEMPURNA PENGETAHUAN SERTA TINDAK-TANDUKNYA,
SEMPURNA MENEMPUH SANG JALAN (KE NIBBÂNA),
PENGENAL SEGENAP ALAM, PEMBIBING MANUSIA YANG TIADA TARANYA,
GURU PARA DEWA DAN MANUSIA YANG SADAR (BANGUN), YANG PATUT DIMULIAKAN.
THIS BLESSED ONE IS HOLY, A FULLY ENLIGHTENED ONE
PERFECTED IN WISDOM AND VONDUCT,
FARING HAPPYLY, KNOWER OF THE WORLDS,
UNSURPASSED LEADER OF MEN TO BE TRAINED,
TEACHER OF HEAVENLY BEING AND MEN,
A BUDDHA, A BLESSED ONE.
KISAH NAGA EKAPATTA
Ada seekor raja naga yang bernama Erakapatta. Dalam salah satu kehidupanya yang lampau selama masa Buddha Kasapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena gelisah (kukkucca) ia telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil selama itu, dan ia terlahir sebagai seekor naga. Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang Buddha baru. Erakapatta memiliki seorang putri cantik, dan ia memanfaatkanya untuk tujuan menemukan serang Buddha. Ia membuat putrinya terkenal sehingga siapapun yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, Erakapatta membuat putrinya menari di udara terbuka dan mengumandangkan pertanyaan-pertanyaanya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan berharap memilikinya, tetapi tak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.
Suatu hari, Sang Buddha melihat seorang pemuda yang bernama Uttara dalam pandangan-Nya. Beliau mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri Erakapatta, sang naga. Pada saat itu si pemuda telah siap dengan perjalannya untuk bertemu dengan putri Erakapatta. Sang Buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, Uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang disaat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri Erakapatta. Bagaimanapun, Uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan banyak makhluk.
Keempat pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
Siapakah penguasa?
Apakah seorang yang diliputi oleh kabut kekotoran moral dapat disebut sebagai seorang penguasa?
Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran moral?
Orang seperti apakah yang disebut tolol?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Ia yang mengontrol enam indera adalah seorang penguasa.
Seorang yang dilputi oleh kabut kekotoran moral tidak dapat disebut sebagai seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
Penguasa yang bebas dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
Seorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut tolol.
Mendapatkan jawaban yang benar seperti diatas, putri naga meneriakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah, kebodohan dan bagaimana mereka ditanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Ketika Erakapatta mendengar jawaban-jawaban ini ia tahu bahwa seorang Buddha telah muncul di dunia ini sehingga ia meminta Uttara mengantarkanya menghadap sang Buddha. Saat melihat Sang Buddha, Erakapatta menceritakan bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa Buddha Kasapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika sedang melakukan perjalanan di atas perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir bahwa kesalahan kecil yang telah diperbuatnya akan menggagalkan usaha pembebasan dirinya, akhirnya ia terlahir seekor naga. Setelah mendengarnya, Sang Buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan dilahirkan pada saat munculnya para Buddha atau selama para Buddha mengajar.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 182 berikut:
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar, sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Khotbah di atas bermanfaat bagi banyak mahkluk namun Erakapatta sebagai seekor hewan tidak mampu mencapai tingkat kesucian sotapatti.